Firmitas Candi Jawi

8 Jan

 

 

 

 

 

 1

 

Candi Jawi adalah candi yang dibangun sekitar abad ke-13 dan merupakan peninggalan bersejarah Hindu – Buddha Kerajaan Singhasari di kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia. Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan – Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan tempat penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja Kertanegara.

Latar belakang

Alasan Kertanegara membangun candi Jawi jauh dari pusat kerajaan diduga karena di kawasan ini pengikut ajaran Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama, misalnya, menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana Bayangkara. Negarakertagama mencatat adanya pemberontakan Cayaraja.

Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan basis oleh pendukung Kertanegara. Dugaan ini timbul dari kisah sejarah bahwa saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikandiri setelah Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), dia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.

2

Struktur dan kegunaan bangunan

Candi Jawi dibangun di atas batur atau dasar yang tinggi dan dikelilingi oleh halaman dan kolam. Di luar kolam masih terdapat sisa-sisa halaman yang dihubungkan dengan pintu gerbang. Namun bentuk halaman, gerbang dan bangunan lain termasuk pagar keliling tidak jelas lagi karena runtuh, hilang atau ditimpa bangunan lain di atasnya.
Candi Jawi berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang bahannya terbuat dari batu hitam dan batu putih, berukuran luas 14,24×9,55 meter dengan tinggi 24,50 meter. Seperti candi-candi yang lain, candi ini terdiri atas tiga bagian, yaitu: kaki, badan dan atap. Pada bagian kaki candi terdapat pahatan relief yang sampai saat ini belum diketahui maknanya secara pasti, yaitu relief yang menggambarkan tokoh wanita dan pengiring (punakawan), bangunan rumah maupun candi, dan panorama dengan beraneka pepohonan. Di depan tangga naik candi terdapat sisa bangunan kelir yang berbentuk empat persegi panjang yang letaknya melintang di depan pintu yang menghadap ke arah timur agak serong ke utara, membelakangi Gunung Penanggungan. Posisi pintu ini oleh sebagian ahli dipakai sebagai alasan untuk mempertegas bahwa Candi Jawi bukan tempat peribadatan atau pradaksina, karena candi-candi untuk tempat peribadatan biasanya menghadap ke arah gunung, tempat bersemayamnya para dewa.

Kemudian kita akan membahas mengenai firmitas dari candi jawi ini. Namun sebelum membahas firmitas candi jawi ini, alangkah baiknya bila kita memahami apa arti kata firmitas itu sendiri. Firmitas sering disebut juga durabilitas, artinya ketahanan sebuah bangunan dalam mengarungi waktu. Dengan kata lain, sebuah bangunan dikatakan memenuhi unsur Firmitas dengan baik jika ia dapat berdiri dengan baik dan tahan untuk dapat berdiri dengan baik dalam jangka waktu yang cukup lama, sesuai kebutuhan awal dibuatnya bangunan tersebut. Firmitas adalah ketahanan fisik sebuah bangunan. Yang paling menonjol dalam firmitas adalah kekuatan bangunan, sehingga bangunan tersebut aman untuk digunakan. Maka penggunaan material pada candi jawi ini menjadi bahan pembelajaran untuk kekokohannya.

3

Salah satu keunikan Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Dari Kaki sampai selasar candi dibangun menggunakan batu berwarna gelap, tubuh candi menggunakan batu putih, sedangkan atap candi menggunakan campuran batu berwarna gelap dan putih. Diduga candi ini dibangun dalam dua masa pembangunan. Kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa pada tahun 1253 Saka (candrasengkala: Api Memanah Hari) Candi Jawi disambar petir. Dalam kejadian itu arca Maha Aksobaya menghilang. Hilangnya arca tersebut sempat membuat sedih Raja Hayam Wuruk ketika baginda mengunjungi Candi Jawi.  Setahun setelah disambar petir, Candi Jawi dibangun kembali. Pada masa inilah diperkirakan mulai digunakannya batu putih. Penggunaan batu putih tersebut juga mengundang pertanyaan, karena yang terdapat di kawasan G. Welirang kebanyakan adalah batu berwarna gelap. Kemungkinan batu-batu tersebut didatangkan dari pesisir utara Jawa atau Madura.

Kaki candi berdiri di atas batur (kaki candi) setinggi sekitar 2 m dengan pahatan relief yang memuat kisah tentang seorang pertapa wanita. Tangga naik yang tidak terlalu lebar terdapat tepat di hadapan pintu masuk ke garba grha (ruang dalam tubuh candi). Pahatan yang rumit memenuhi pipi kiri dan kanan tangga menuju selasar. Sedangkan pipi tangga dari selasar menuju ke lantai candi dihiasi sepasang arca binatang bertelinga panjang.

4

Di sekeliling tubuh candi terdapat selasar yang cukup lebar. Bingkai pintunya polos tanpa pahatan, namun di atas ambang pintu terdapat pahatan kalamakara, lengkap dengan sepasang taring, rahang bawah, serta hiasan di rambutnya, memenuhi ruang antara puncak pintu dan dasar atap. Di kiri dan pintu terdapat relung kecil tempat meletakkan arca. Di atas ambang masing-masing relung terdapat pahatan kepala makhluk bertaring dan bertanduk.

Ruangan dalam tubuh candi saat ini dalam keadaan kosong. Tampaknya semula terdapat arca di dalamnya. Negarakertagama menyebutkan bahwa di dalam bilik candi terdapat arca Syiwa dengan Aksobaya di mahkotanya. Selain itu disebutkan juga adanya sejumlah arca dewa-dewa dalam kepercayaan Syiwa, seperti arca Mahakala dan Nandiswara, Durga, Ganesha, Nandi, dan Brahma. Tak satupun dari arca-arca tersebut yang masih berada di tempatnya. Konon arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya.

5

Dinding luar tubuh candi dihiasi dengan relief yang sampai saat masih belum ada yang berhasil membacanya. Mungkin karena pahatannya yang terlalu tipis. Mungkin juga karena kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah. Kitab Negarakertagama yang menceritakan candi ini secara cukup rincipun sama sekali tidak menyinggung soal relief tersebut. Menurut juru kunci candi, relief itu harus dibaca menggunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), seperti yang digunakan dalam membaca relief di Candi Kidal. Masih menurut juru kunci candi, relief yang terpahat di tepi barat dinding utara menggambarkan peta areal candi dan wilayah di sekitarnya.

Antara pelataran belakang candi yang cukup luas dan tertata rapi dengan perkampungan penduduk dibatasi oleh sebuah sungai kecil. Di sudut selatan pelataran terdapat reruntuhan bangunan yang terbuat dari bata merah. Sepertinya bangunan tersebut tadinya adalah sebuah gapura, namun tidak ada keterangan yang bisa didapat mengenai bentuk dan fungsinya semula.

Sumber

http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/jawi/jawi.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Jawi

http://merbabu.com/candi/candi_jawi.html

ARSITEKTUR DAN EKSISTENSI ORGANISASI

http://uun-halimah.blogspot.com/2008/11/candi-jawi-pasuruan-jawa-timur.html

Leave a comment